Nama :
Nadya Irmalia Azizah
Kelas :
1ID02
NPM :
37414765
1.
Wawasan Nasional Suatu Bangsa
Suatu bangsa yang
telah menegara, dalam menyelenggarakan kehidupannya tidak terlepas dari
pengaruh lingkungannya. Pengaruh itu timbul dari hubungan timbal balik antara
filosofi bangsa, ideologi, aspirasi serta cita-cita dan kondisi sosial
masyarakat, budaya, tradisi, keadaan alam, wilayah serta pengalaman sejarahnya.
Pemerintah dan rakyat memerlukan suatu konsepsi berupa
wawasan nasional untuk menyelenggarakan kehidupannya. Wawasan ini
dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan hidup, keutuhan wilayah serta jati diri
bangsa. Kata “wawasan” itu sendiri berasal dari wawas (bahasa Jawa) yang
artinya melihat atau memandang.
Dalam mewujudkan aspirasi dari perjuangan, satu bangsa
perlu mempehatikan tiga faktor utama :
1. Bumi atau
ruang dimana bangsa itu hidup.
2. Jiwa, tekad
dan semnagat menusianya atau kerakyatannya.
3. Lingkungan
sekitarnya.
Dengan demikian,
wawasan nasional adalah cara pandang suatu bangsa yang telah menegara tentang
diri dan lingkungannya dalam eksistensinya yang serba terhubung (melalui
interaksi dan interrelasi) dan dalam pembangunannya di lingkungan nasional
(termasuk lokal dan propinsional), regional serta global.
2. Teori
Kekuasaan dan Geopolitik
Wawasan nasional suatu
bangsa dibentuk dan dijiwai oleh paham kekuasaan dan geopolitik yang
dianutnya. Beberapa teori diuraikan sebagai berikut :
1.
Paham – Paham Kekuasaan
Perumusan wawasan
nasional lahir berdasarkan pertimbangan dan pemikiran mengenai sejauh mana
konsep operasionalnya dapat diwujudkan dan dipertanggungjawabkan. Karena
itu, dibutuhkan landasan teori yang dapat mendukung rumusan Wawasan Nasional.
Teori – teori yang dapat mendukung rumusan tersebut
antara lain :
a.
Paham Machiavelli (Abad XVII)
Gerakan pembaharuan (renaissance) yang
dipicu oleh masuknya ajaran Islam di Eropa Barat sekitar abad VII telah membuka
dan mengembangkan cara pandang bangsa-bangsa Eropa Barat sehingga menghasilkan
peradaban barat modern seperti sekarang.
Menurut Machiavelli, sebuah negara akan bertahan
apabila menerapkan dalil-dalil berikut : pertama, segala cara dihalalkan dalam
merebut dan mempertahankan kekuasaan ; kedua, untuk menjaga kekuasaan rezim,
politik adu domba (“divide et impera”) adalah sah ; dan ketiga,
dalam dunia politik (yang disamakan dengan kehidupan binatang buas) yang
kuat pasti dapat bertahan dan menang.
b.
Paham Kaisar Napoleon Bonaparte (Abad XVIII)
Kaisar Napoleon
merupakan tokoh revolusioner di bidang cara pandang , selain penganut yang baik
dari Machiavelli. Napoleon berpendapat bahwa perang di masa depan akan
merupakan perang total yang mengerahkan segala daya upaya dan kekuatan
nasional. Dia berpendapat bahwa kekuatan politik harus didampingi oleh
kekuatan logistik dan kekuatan nasional. Kekuatan ini juga perlu didukung
oleh kondisi sosial budaya berupa ilmu pengetahuan dan teknologi demi
terbentuknya kekeuatan hankam.
c.
Paham Jendral Clausewitz (Abad XVIII)
Pada era Napoleon,
Jenderal Clausewitz sempat terusir oleh tentara Napoleon dari negaranya sampai
ke Rusia. Calusewitz akhirnya bergabung dan menjadi penasihat militer
Staf Umum Tentara Kekuasan Rusia. Menurut Clausewitz, perang adalah
kelanjutan politik dengan cara lain. Baginya, peperangan adalah sah-sah
saja untuk mencapai tujuan nasional suatu bangsa.
d.
Paham Feuerbach dan Hegel
Paham materialisme
Feuerbach dan teori sintesis Hegel menimbulkan dua aliran besar Barat yang
berkembang didunia, yaitu kapitalisme disatu pihak dan komunisme dipihak
lain. Pada abad XVII paham perdagangan bebas (yang merupakan nenek moyang
liberalisme) sedang marak. Paham ini memicu nafsu kolonialisme negara
Eropa Barat dalam mencari surplus ekonomi ke tempat lain.
e.
Paham Lenin (Abad XIX)
Lenin telah
memodifikasi paham Clausewitz. Menurutnya, perang adalah kelanjutan
politik dengan cara kekerasan. Bagi Leninisme/Komunisme, perang atau
pertumpahan darah atau revolusi di seluruh dunia adalah sah dalam kerangka
mengkomunikasikan seluruh bangsa didunia.
f.
Paham Lucian W. Pye dan Sidney
Para ahli tersebut
menjelaskan adanya unsur-unsur subyektivitas dan psikologis dalam tatanan
dinamika kehidupan politik suatu bangsa, kemantapan suatu sistem politik dapat
dicapai apabila sistem tersebut berakar pada kebudayaan politik bangsa yang
bersangkutan. Dengan demikian proyeksi eksistensi kebudayaan politik
tidak semata-mata ditentukan oleh kondisi-kondisi obyektif tetapi juga
subyektif dan psikologis.
2.
Teori-Teori Geopolitik
Geopolitik berasal
dari kata “geo” atau bumi dan politik yang berarti kekuatan yang didasarkan
pada pertimbangan-pertimbangan dasar dalam menentukan alternatif kebijaksanaan
nasional untuk mewujudkan tujuan nasional. Beberapa pendapat dari
pakar-pakar Geopolitik antara lain :
a.
Pandangan Ajaran Frederich Ratzel
Pada abad ke-19,
Frederich Ratzel merumuskan untuk pertama kalinya Ilmu Bumi Politik sebagai
hasil penelitiannya yang ilmiah dan universal. Pokok-pokok ajaran
F.Ratzel adalah sebagai berikut :
1) Dalam hal-hal
tertentu pertumbuhan negara dapat dianalogikan dengan pertumbuhan organisme
yang memerlukan ruang lingkup.
2) Negara identik
denga suatu ruang yang ditempati oleh kelompok politik dalam arti kekuataan.
3) Suatu bangsa
dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya tidak terlepas dari hukum alam.
4) Semakin tinggi
budaya suatu bangsa, semakin besar kebutuhannya akan sumber daya alam.
Ilmu Bumi Politik
berdasarkan ajaran Ratzel tersebut justru menimbulkan dua aliran, di mana yang
satu berfokus pada kekuataan di darat, sementara yang lainnya berfokus pada
kekuataan di laut. Ratzel melihat adanya persaingan antara kedua aliran
itu, sehingga ia mengemukakan pemikiran yang baru, yaitu dasar-dasar
suprastruktur Goepolitik : kekuatan total/menyeluruh suatu negara harus mampu
mewadahi pertumbuhan kondisi dan kedudukan geografisnya.
b.
Pandangan Ajaran Rudolf Kjellen
Kjellen menegaskan
bahwa negara adalah suatu organisme yang dianggap sebagai “prinsip
dasar”. Esensi ajaran Kjellen adalah sebagai berikut :
1)
Negara merupakan satuan biologis, suatu organisme
hidup yang memiliki intelektual.
2)
Negara merupakan suatu sistem politik/pemerintahan
yang meliputi bidang-bidang : geopolitik, sosial politik dan krato politik
(politik memerintah).
3)
Negara tidak harus bergantung pada sumber pembekalan
luar. Ia harus mampu berswasembada serta memanfaatkan kemajuan kebudayaan
dan teknologi untuk meningkatkan kekuataan nasionalnya.
c.
Pandangan Ajaran Karl Haushofer
Pandangan Karl
Haushofer berkembang di Jerman ketika negara ini berada dibawah kekuasaan Adolf
Hitler. Pandangan ini juga dikembangan di Jepang dalam ajaran Hako
Ichiu. Pokok-pokok teori Haushofer ini pada dasarnya menganut pandangan
Kjellen, yaitu :
1) Kekuasaan
Imperium Daratan yang kompak akan dapat mengejar kekuasaan Imperium Maritim
untuk menguasai pengawasan di laut.
2) Beberapa
negara besar didunia akan timbul dan akan menguasai Eropa, Afrika, Asia Barat
(Jerman dan Italia) serta Jepang di Asia Timur Raya.
3) Rumusan ajaran
Haushofer lainnya adalah sebagai berikut : Geopolitik adalah doktrin negara
yang menitikberatkan soal-soal startegi perbatasan. Geopolitik adalah
landasan bagi tindakan politik dalam perjuangan mendapatkan ruang hidup.
Pokok-pokok teori Karl
Haushofer pada dasarnya menganut teori Rudolf Kjellen dan bersifat ekspansif.
d.
Pandangan Ajaran Sir Halford Mackinder
Teori ahli Geopolitik
ini pada dasarnya menganut “konsep kekuatan” dan mencetuskan Wawasan Benua,
yaitu konsep kekuataan didarat. Ajarannya menyatakan : barang siapa dapat
menguasai “Daerah Jantung”, yaitu Eurasia (Eropa dan Asia), ia akan dapat menguasai
“Pulau Dunia”, yaitu Eropa, Asia dan Afrika.
e.
Pandangan Ajaran Sir Walter Raleigh dan Alfred Thyer
Mahan
Kedua ahli ini mempunyai gagasan “Wawasan Bahari”,
yaitu kekuatan dilautan. Ajarannya mengatakan bahwa barang siapa
menguasai lautan akan menguasai “perdagangan”. Menguasai perdagangan
berarti menguasai “kekuatan dunia” sehingga pada akhirnya menguasai dunia.
f.
Pandangan Ajaran W. Mitchel, A.Saversky, Giulio Douhet
dan John Frederik Charles Fuller
Mereka melahirkan
teori “Wawasan Dirgantara” yaitu konsep kekuatan di udara. Kekuatan di
udara hendaknya mempunyai daya yang dapat diandalkan untuk menangkis ancaman
dan melumpuhkan kekuatan lawan dengan mengahancurkannya di kandangnya sendiri
agar lawan tidak mampu lagi menyerang.
g.
Ajaran Nicholas J. Spykman
Ajaran ini
menghasilkan teori yang dinamakan Teori Daerah Batas (rimland), yaitu
teori wawasan kombinasi yang menggabungkan kekuatan darat, laut dan udara.
3. Ajaran
Wawasan Nasional Indonesia
1. Paham
Kekuasaan Bangsa Indonesia
Wawasan
nasional bangsa Indonesia tidak mengembangkan ajaran tentang kekuasaan dan adu
kekuataan. Ajaran wawasan nasional bangsa Indonesia menyatakan bahwa
ideologi digunakan sebagai landasan idiil dalam menentukan politik nasional,
dihadapkan pada kondisi dan konstelasi geografi Indonesia dengan segala aspek
kehidupan nasionalnya. Tujuannya adalah agar bangsa Indonesia dapat
menjamin kepentingan bangsa dan negaranya ditengah-tengah perkembangan dunia.
2. Geopolitik
Indonesia
Pemahaman tentang negara Indonesia menganut paham negara kepulauan, yaitu
paham yang dikembangkan dari asas archipelago yang memang
berbeda dengan pemahaman archipelago di negara-negara Barat
pada umumnya. Perbedaan yang esensial dari pemahaman ini adalah bahwa menurut
paham Barat, laut berperan sebagai “pemisah” pulau, sedangkan menurut paham
Indonesia laut adalah “penghubung” sehingga wilayah negara menjadi satu
kesatuan yang utuh sebagai “Tanah Air” dan disebut Negara Kepulauan.
3. Dasar
Pemikiran Wawasan Nasional Indonesia
Wawasan Nasional Indonesia dibentuk dan dijiwai oleh pemahaman kekuasaan
bangsa Indonesia yang berlandaskan falsafah Pancasila dan oleh pandangan
geopolitik Indonesia yang berlandaskan pemikiran kewilayahan dan kehidupan
bangsa Indonesia. Karena itu, pembahasan latar belakang filosofis sebagai
dasar pemikiran, pembinaan dan pengembangan wawasan nasional Indonesia ditinjau
dari :
a.
Latar belakang pemikiran berdasarkan falsafah
Pancasila.
b.
Latar belakang pemikiran aspek Kewilayahan Nusantara.
c.
Latar belakang pemikiran aspek Sosial Budaya Bangsa
Indonesia.
d.
Latar belakang pemikiran aspek Kesejarahan Bangsa
Indonesia.
Sumber : Pendidikan
Kewarganegaraan. 2001. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Contoh Kasus Nyata:
Kasus Sengketa Pulau Sipadan dan Lingitan
Pulau
Sipadan dan Lingitan merupakan objek sengketa internasional antara Indonesia
dan Malaysia. Pulau Sipadan dengan luas 10,4 ha terletak 15 mil laut (sekitar
24 km) dari pantai Sabah Malaysia dan 40 mil laut atau 64 km dari pulau Sebatik
Indonesia. Sedangkan pulau Lingitan dengan luas 7,9 ha terletak sekitar 21 mil
laut atau sekitar 34 km dari pantai Sabah Malaysia dan 57,6 mil laut atau 93 km
dari pulau Sebatik Indonesia.
Persengketaan
antara Indonesia dan Malaysia mencuat pada tahun 1973 ketika dalam pertemuan
teknis hukum laut antara kedua belah negara, masing masing negara ternyata
memasukkan pulau Sipadan dan Lingitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Dengan
temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan pulau Sipadan
dan Lingitan, maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain
yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau tersebut. Di saat yang sama Malaysia
mengklaim bahwa dua pulau tersebut merupakan miliknya sesuai peta unilateral
1979 Malaysia, serta mengemukakan sejumlah dalil, alasan dan fakta. Namun kedua
belah pihak untuk sementara sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam “status
quo” dan pada tahun 1989 masalah pulau Sipadan dan Lingitan mulai dibicarakan
kembali oleh dua belah negara.
Pada
tahun 1992, kedua negara sepakat menyelesaikan masalah ini secara bilateral
yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan
pejabat tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan Kelompok Kerja
Bersama (Joint Commision (JC), Joint Working Group (JWG)). Namun dari
serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua
pihak berpegang pada prinsipnya masing masing yang berbeda untuk mengatasi
permasalahan ini. Pada pertemuan tanggal 6-7 Oktober 1996 di Kuala Lumpur Presiden
Soeharto dan PM. Mahathir menyetujui rekomendasi wakil khusus, dan 31 Mei 1997
disepakati “Special Agreement for The Submission to the International Court
of Justice the Dispute between Indonesia and Malaysia concerning the
Sovereignty over Sipadan and Lingitan Island”. Special agreement tersebut
lalu disampaikan secara resmi ke Mahkamah Internasional pada 2 November 1998.
Dengan itu proses ligitasi pulau Sipadan dan Lingitan di Mahkamah Internasional
mulai berlangsung. Kedua negara memiliki kewajiban penyampaian posisi masing
masing melalui “Written Pleading” kepada Mahkamah Memorial pada 2
November 1999 diikuti “Counter Memorial” pada 2 Agustus 2000 dan “Reply” pada
2 Maret 2001. Lalu dilanjut dengan proses “Oral Hearing” dari kedua
negara yang bersengketa pada 3-12 Juni 2002.
Special
Agreement adalah persyaratan prosedural yang
memungkinkan mahkamah memiliki jurisdiksi terhadap kasus yang dibawa ke
Mahkamah Internasional. Masalah pokok yang dimintakan dalam Special Agreement
adalah Mahkamah Internasional dapat memutus suatu perkara berdasarkan
perjanjian-perjanjian, fakta historis dan dokumen-dokumen yang diberikan oleh
Indonesia dan Malaysia ke pengadilan. Special Agreement juga mencantumkan
tentang kesediaan dua belah negara untuk menerima hasil keputusan dewan juri
dengan lapang dada dan menerimanya sebagai keputusan yang bersifat akhir dan
mengikat.
Putusan Mahkamah Agung
1.
Menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua
pulau sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia
berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan
Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia
bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian
diserahkan kepada Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of
Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian
yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet
ini memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.
2.
Menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua
pulau sengketa merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan
penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891. penafsiran Indonesia terhadap garis
batas 4° 10' LU yang memotong P. Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut
terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di
terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga
tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van
Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia
atas pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak
menjadi bagian dari konvensi 1891. mahkamah juga menolak dalil alternatif
Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian
kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang
diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
3.
Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai
masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical
date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia
tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang
bersengketa.
§
Berkaitan dengan pembuktian effectivities
Indonesia, Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat
mewujudkan kedaulatan oleh Belanda atau Pulai Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu
pula halnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik yang dapat menunjukkan
adanya bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas kedua pulau
dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No.
4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan pada 18 Pebruari 1960-yang
merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep kewilayahan Wawasan
Nusantara- juga tidak memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
§
Berkaitan
dengan pembuktian effectivies Malaysia, Mahkamah menyimpulkan bahwa sejumlah
dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan yang
berkesinambungan dan damai yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak
1917. serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan
legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti
:
1. Pengutipan
pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak
1917.
2. Penyelesaian
sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di P. Sipadan pada tahun
1930-an.
3. Penetapan
P. Sipadan sebagai cagar burung, dan
4. Pembangunan
dan pemeliharaan mercu suar sejak tahun 1962 di P. Sipadan dan pada tahun 1963
di P.Ligitan.
Sumber : http://studiespassions.wordpress.com