1.1
LATAR BELAKANG
Kepadatan
penduduk di Ibu Kota Jakarta menjadi faktor yang penting dalam perkembangan
penduduk di Indonesia. Jakarta sebagai pusat kepemerintahan, Jakarta sebagai
kota metropolitan, Jakarta sebagai pusat perekonomian yang menyebabkan
warga-warga diluar Jakarta berlomba untuk tinggal di Jakarta. Para urbanisasi
yang hanya memikirkan “enak” nya saja tidak memperhatikan apa dampak negative yang
nantinya akan dirasakan. Hidup di Jakarta tidak akan mendapatkan kehidupan yang
layak dengan instan, perlu perjuangan dan mental yang kuat. Hal tersebut yang
kurang di perhatikan untuk pihak urbanisasi.
Urbanisasi
merupakan faktor yang sangat besar dalam perkembangan penduduk di daerah DKI
Jakarta, tidak heran mengapa Jakarta dipenuhi oleh orang-orang dari luar
Jakarta. Semakin banyaknya pelaku urbanisasi maka semakin meningkatnya pula
angka kelahiran di Jakarta. Semakin bertambahnya angka kelahiran maka semakin
bertambahanya kebutuhan lahan permukiman. Permukiman penduduk yang semakin
bertambah menyebabkan berkurangnya lahan di DKI Jakarta hal ini tidak sesuai
dengan kepadatan penduduk yang ada di Jakarta saat ini. Faktor perekonomian
juga menjadi pemicu warga Jakarta tidak mampu untuk membeli tanah, tidak mampu
untuk membeli lahan, bahkan tidak mampu utnuk emmbeli rumah. Hal ini menjadi
penyebab masyarakat mencari jalan pintas seperti menempati lahan pemerntah
secara sepihak oleh masyarakat, lebih parahnya banyak masyarakat yang memanfaat
lahan pinggiran kali menjadi tempat permukiman yang jelas-jelas tanah tersebut
milik pemerintah. Lahan di pinggiran
kali bukan tempat yang pas untuk dijadikan tempat tinggal, selain dapat
membahyakan jiwa dari penduduk sekitar juga akan menjadi bahan permasalahan hukum
mengenai peraturan daerah tentang kawasan pemukiman di daerah bantaran sungai.
Penggusuran
adalah pengusiran paksa baik secara langsung maupun secara tidak langsung yang
dilakukan pemerintah setempat terhadap penduduk yang menggunakan sumber-daya
lahan untuk keperluan hunian maupun usaha Penggusuran kampUng miskin ini menyebabkan
rusaknya jaringan social pertetanggaan dan keluarga, merusak kestabilan
kehidupan keseharian seperti bekerja dan bersekolah serta melenyapkan asset hunian.
2.1 PEMBAHASAN
JAKARTA,
Indonesia—Dua kali Rappler meliput penggusuran di Jakarta, yakni di Kampung
Pulo dan Bukit Duri. Dua penggusuran itu diwarnai oleh bentrok.
Penggusuran
Kampung Pulo pada 20 Agustus lalu berakhir rusuh. Bentrokan antara petugas
Satpol PP dan warga Kampung Pulo pecah. Gas air mata ditembakkan oleh petugas.
Batu-batu beterbangan dari arah kubu warga. Suasana di
Kampung Pulo pun mencekam.
Apa yang
disengketakan antara pemerintah dan warga? Kepemilikan tanah. Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta meyakini bahwa warga tak memiliki sertifikat kepemilikan
tanah. Tanah di Kampung Pulo adalah milik negara, sehingga penggusuran yang
dilakukan untuk pelebaran Kali Ciliwung itu tak bisa ditawar-tawar lagi.
Pada Selasa,
12 Januari, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali melakukan penggusuran di
tiga Rukun Tetangga di Bukit Duri, Jakarta Selatan.
Warga kembali
protes. Aparat kembali bermain kasar. Akibatnya anggota Lembaga Bantuan Hukum
Jakarta Alldo Fellix Januardy terkena pukulan Satuan Polisi Pramong Praja.
Meski dibantah oleh Kepala Satpol PP Pancoran Houtman. “Warga melawan,” katanya
pada Rappler saat ditemui di lokasi kemarin.
Berita
diatas adalah salah satu berita yang hangat diperbincangkan pada bulan April
2017. Berita diatas hanya cuplikan saja yang menggambarkan mengenai perdebatan
masalah penggusuran di DKI Jakarta tepatnya di Kampung Pulo dan Bukit Duri. Dalam
permasalahan tersebut penggusuran permukiman warga bertujuan untuk
menormalisasikan sungai untuk menanggulangi banjir, selain itu penggusuran
dilakukan karena banyak warga yang memang tidak memiliki sertifikat tanah
sehingga warga telah menggunakan lahan pemerintah secara sepihak saja. Permasalahan
semakin jelas dari informasi salah satu tokoh masyarakat sebenarnya beliau
memiliki sertifikat tanah yang sudah diurus di Kelurahan tahun 1979, semenjak
itu beliau mendapat verponding yaitu
surat tagihan pajak atas tanah atau bangunan pada masa lampau yang saat ini
disebut sebagai Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan
(SPPT-PBB) semenjak tahun itu berarti tanah tersebut memang bersertifikat milik
salah satu tokoh masyarakkat tersebut. Tetapi
tahun 2017 disinilah beliau kehilangan
tanda kepemilikkan tanah tersebut, ketika para pelaku penggusuran menanyakan
nomer verponding nya berapa? Tidak tahu.
Hal tersebut dianggap bahwa tanah tersebut bukan miliknya.
Sebagian
masyarakat Kampung Pulo dan Bukit Duri bernasib sama sepertinya. Tetapi penggusuran
tanah telah terjadi sejak zaman Gurbernur Sutiyoso. Hal yang menjadi penghalang
warga untuk membuat sertifikat tanah adalah uang yang harus dikeluarkan untuk
pengurusan sertifikat tersebut yang dianggap cukup memberatkan warga. Selain itu
kendala selanjutnya sebagian warga tidak mengetahui proses yang harus mereka
tempuh untuk mendapatkan surat tersebut untuk menjadi surat tanah. Justru sebagian
warga telah kehilangan surat itu karena banjir nasional beberapa tahun lalu,
dokumen hanyut berserta barang-barang didalam rumah mereka. Sehingga menurut
salah satu warga Bukit Duri, bahwa Bukit Duri sangat lemah dimata huku karena
tidak ada hitam di atas putih sebagai bukti kepemilikan tanah tersebut.
Selain
penggusuran karena faktor tidak adanya sertifikat kepemilikan tanah,
normalisasi sungan dan relokasi warga Kampung Pulo juga dimaksudkan untuk
menyelamatkan warga dari banjir yang selalu menerjang setiap kali hujan deras
mengguyur Jakarta. Banyak warga yang menolak untuk dipindahkan dengan alasan mereka
tidak bisa jauh-jauh dari lokasi yang mereka tempati saat ini. Mereka, warga
Kampung Pulo dan Bukit Duri hanya ini meminta dikembalikan tempat tinggalnya
ditempat semula apalagi mereka sangat menolak tinggal di rumah susun di daerah
tersebut.
Pemerintah
dalam melakukan penggusuran telah menyediakan rusun yang disediakan Pemprov DKI
untuk warga Kampung Pulo yang keadaan yang jauh lebih baik. Permukiman mereka
yang berada dipinggiran sungai cukup memperihatinkan, menjadi permukiman kumuh,
menjadi kampong miskin, belum lagi apabila terjadi hujan deras kampong mereka
akan terendam banjir. Mau sampai kapan mengalami banjir kalau warga nya saja
tidak mau diatur? sedangkan rusun yang tersedia memiliki kualitas yang sangat
baik sudah seperti apartement. Fasilitas di rusun snagat lengkap ada posko
kesehatan, ruang administrasi, pusat jajanan, dilengkapi CCTV dan dilengkapi
lift. Tidak hanya warga yang tidak memiliki sertifikat tanah yang menjadi
korban gusur yang dapat tinggal di rusun, tetapi warga yang bersertifikat tanah
yang menjadi korban gusur juga dapat tinggal di rusun, warga yang berKTP non
DKI juga dapat tinggal di rusun tetapi dengan persyaratan. Sehingga niat
Pemprov DKI untuk merevitalisasi sungai dan tata kota Jakarta menjadi baik dan
bisa terealisasi.
3.1 KESIMPULAN
Menurut
saya menanggapi permasalahan yang terjadi diatas, saya sendiri sangat perpihak
dengan kinerja pemerintah yaitu ingin menormalisasikan sungai dan menata kota
Jakarta lebih baik. Soal penggusuran, memang kenyataanya warga tidak memiliki
sertifikat tanah kan? Memang kenyatanya warga tidak memiliki bukti mengenai
kepemilikan tanah dan umah mereka kan? Berarti tanah tesebut memang milik
pemerintah. Dikaitkan lagi dengan daerah permukiman yang dibangun di pinggir
kali. Menurut saya itu sangat memperitahinkan karena yang saya perhatikan
kehidupan dibantaran sungai sangai jauh-jauh dari kata layak. Keadaan permukiman
yang kumuh. Permukiman yang berdiri di sekitar bantaran sungai juga telah
melanggar peraturan yang ada. Rumah-rumah yang di bangun di pinggiran sungai
juga menajdi penyebab tentang banjir yang sering melanda Jakarta dikala musim
hujan. Katanya mau Jakarta bebas banjir? Lebih baik di bangun komunikasi yang
baik antara pemerintah dan warganya agar tidak terjadi perselisihan, agar terjadi
kerja sama yang baik, agar terjadi hubungan yang baik untuk memajukan Jakarta
ke yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar